Senin, 01 April 2013

Mawar Indah Tak Bertangkai


Mawar Indah Tak Bertangkai
(Karya Ratih Puspitasari)

“I like your last name, can I have it..?
Itulah segelintir kata yang dia tulis dalam buku hariannya.
            Namanya Qalira Lenasha. Orang-orang memanggilnya Lira. Dia adalah anak tunggal dalam keluarganya. Ia hanya tinggal bersama mamanya karena papanya telah meninggal saat Lira berumur 4 tahun. Saat ini Lira duduk dikelas sebelas SMA. Dia sangat menyukai seseorang, ya orang itu adalah kakak kelasnya sendiri. Namanya Gias Arya Ardiansyah. Banyak wanita yang mengagumi dan tergila-gila padanya. Begitupun Lira. Lira mengaguminya dan sangat mencintainya. Namun kakak kelasnya itu tak pernah tau dan Lira pun tidak pernah ingin dia mengetahui semuanya.
            Hari itu Lira berjalan-jalan dikoridor sekolah sambil mengobrol dengan teman baiknya, Vina. Tiba-tiba Lira melihat Gias sedang berjalan memasuki mesjid sekolahnya dan dia pun tiba-tiba terdiam. Tak lama kemudian, Lira dan Vina pun meninggalkan koridor dan pergi memasuki kelas. Pikirannya buyar memikirkan Gias. Bel pulang sekolah pun berbunyi. Lira langsung beranjak pulang. Dan saat dirumah, dia langsung masuk kamar dan seperti biasa ia langsung membuka buku hariannya dan menuliskan semua perasaannya. Lira pun terus menulis dalam buku hariannya.
Keesokan harinya ketika disekolah dia bertemu dengan Gias. Lira dan Gias pun berpapasan. Detak jantung Lira pun berdebar kencang. Perasaanya tak karuan antara senang, cemas, dan bahagia. Ia pun berlarian memasuki kelasnya dengan wajah yang sangat senang. Vina, teman baiknya keheranan melihat Lira yang sebahagia itu.
“Ra, kamu kenapa? Keliatannya lagi seneng banget nih.”
“Iya nih, barusan abis ketemu pangeran yang ganteeeng banget. Hehe” Jawab Lira
“Siapa ra? Kok kamu gak pernah cerita sih?”
“Tapi jangan bilang siapa-siapa ya. Janji?”
“Iya ra aku gak akan bilang siapa-siapa kok. Janji deh.”
“Kamu tau Kak Gias kan? Ya itu dia pangerannya.”
“Hah? Kak Gias? Yang anak kels 12 itu?”
“Iya hehe.”
“Kamu gak takut apa? Kan banyak saingannya tuh. Banyak banget yang suka sama dia loh ra.”
“Iya aku tau kok. Tapi gak apa-apa, itu kan haknya mereka mau suka sama siapa aja. Lagian juga aku suka dan sayang sama dia tulus kok. Aku gak ngeharepin dia untuk tau ataupun ngebales perasaan aku, semua cukup aku aja yang tau.”
“Terus untuk apa dong kamu suka sama dia? Kalau kamu gak mau dia tau kamu suka terus gimana bisa kalian jadian kalau gitu caranya?”
“Setiap hari aku berdoa sama Tuhan, aku minta untuk bisa dipersatukan sama Kak Gias. Tapi itu semua terserah Tuhan mau kapanpun. Yang jelas selama aku masih ada di dunia, aku bakal berdoa dan terus berdoa. Aku yakin suatu hari nanti Tuhan pasti ngejawab semua doa-doaku.” Jawabnya sambil tersenyum lembut.
            Bel masuk pun berbunyi tanda bahwa pelajaran akan dimulai. Hari itu pelajaran pertama kelas Lira adalah olah raga. Lira dan teman sekelasnya pergi menuju lapangan. Disana mereka dites untuk lari mengelilingi lapangan tersebut. Satu persatu anak dipanggil untuk tes. Kini giliran Lira. Dan satu, dua, tiga.. Lira pun berlari dengan semangatnya. Namun baru beberapa keliling ia berlari, tiba-tiba kepalanya pusing. Darah pun mengalir dari hidungnya dan Bruuuuk! Tubuh Lira pun jatuh dan pingsan. Teman-temannya terkejut dan langsung berlari mendekati Lira untuk membawanya ke ruang kesehatan. Tubuh Lira pun digotong dan dibaringkan di kasur. Bantuan pernapasan dialirkan dengan selang kecil ke hidung Lira. Tidak lama kemudian, Lira pun sadar. Bel ganti pelajaran berbunyi. Teman-temannya Lira pergi meninggalkan ruangan itu sedangkan Lira dianjurkan untuk istirahat terlebih dahulu hingga ia pulih. Tak lama kemudian mama Lira datang dan hendak membawanya ke rumah sakit untuk periksa, namun Lira menolaknya dan bersi keras tidak mau dibawa ke rumah sakit. Ia hanya minta untuk istirahat saja dirumah. Pagi harinya saat Lira sedang menyisir rambut, hidungnya mimisan kembali dan dilihatnya dilantai banyak rambutnya yang berjatuhan. Ia penasaran dan pergi sendiri ke rumah sakit untuk memeriksakan keadaannya, mamanya pun tidak tau. Dan saat dokter memberitahu tentang keadaannya. Dokter berkata..
“Setelah saya periksa, ternyata anda memang sedang sakit.”
“Saya sakit apa dok sebenarnya?”
“Sebentar, orang tua anda ikut kemari tidak?”
“Tidak dok. Dokter saya sakit apa?”
“Baiklah saya akan beritahu, tapi saya mohon anda untuk tetap tenang ya?”
“Baik dok, beritahu saya apa yang sebenarnya terjadi?”
Hati Lira mulai tidak enak dan tak karuan.
“Sebenarnya anda mengidap leukemia atau yang biasa dikenal dengan kanker darah.”
Mendengar kata-kata dokter tersebut, Lira sangat kaget tak percaya. Air matanya tiba-tiba menetes.
“Sudah tahap berapa dok?” Tanya Lira dengan suara bergetar.
“Stadium 4.” Jawab dokter.
“Stadium 4 dok?”
“Ya seperti itu. Saya anjurkan anda untuk gunakan waktu sebaik mungkin. Karena menurut pemeriksaan tadi, hidup anda tidak akan lama lagi.”
“Tidak lama lagi? Berapa lama lagi dok?”
“Saya tidak tahu, yang tahu hanya Tuhan. Kami hanya memprediksi sesuai pemeriksaan.”
Hati Lira hancur bagai kaca yang pecah lalu remuk menjadi beberapa pecahan. Dengan perasaan yang sangat hancur, Lira meninggalkan ruangan tersebut. Ia berjalan dengan lemas dan rasa tak percaya. Air mata tak henti mengalir. Sambil berjalan hatinya berkata.
“Selama ini aku sering mimisan, kepalaku sering terasa sakit, rambutku banyak berjatuhan saat disisir, ternyata ini jawabannya. Aku mengidap kanker! Kanker darah stadium 4.. Ya Tuhan seberapa besar kesalahan-kesalahanku sampai Engkau memberiku cobaan seperti ini? Aku gak sanggup Ya Tuhan.. Aku gak sanggup untuk nerima kenyataan ini! Bagaimana perasaan mama nanti kalau tau anaknya seorang pengidap kanker? Bagaimana nanti kalau Kak Gias tau kalau orang yang menyukainya adalah seorang pengidap kanker? Pupus! Pupus semua harapanku untuk bisa bersama Kak Gias. Ya Tuhaan, mengapa harus aku? Mengapa Ya Tuhan? Mengapaaa?” Ujarnya dalam hati sambil menangis mata dan hatinya.
“Aku harus menyembunyikan semuanya dari orang-orang terutama mama. Aku gak mau mama malu punya anak kayak aku. Aku gak mau orang-orang ngejauhin aku. Pokoknya aku gak akan bilang ke siapapun tentang penyakit ini.”
Tiba-tiba telepon genggam Lira berbunyi tanda ada panggilan masuk. Ternyata Vina yang menelepon. Lira mengusap air matanya dan berusaha untuk berhenti menangis.
“Halo, Lira?”
“Ya ada apa vin?” dengan suara lirih dan suara yang bergetar.
“Ra, kamu kenapa? Kok suaranya beda? Kamu habis nangis ya?”
“Enggak kok Vin aku gak kenapa-napa. Aku gak habis nangis kok.”
“Kamu jangan bohong ra, cerita dong sama aku kamu kenapa.”
“Vin..” Lira mulai menangis
“Lira jangan buat aku bingung. Kamu kenapa?” Vina mulai cemas.
“Aku sakit vin. “ sambil terus menangis.
“Kamu sakit? Sakit apa?” semakin heran.
“Aku sakit vin, aku sakit.”
“Iya kamu sakit apa?”
“Dokter bilang aku kena kanker! Aku gak mau vin! Aku gak mau..” Lira terus menangis malah semakin keras.
“Ya ampun Lira.. Kamu pasti bohong kan? Kamu pasti bercanda kan?”
“Aku gak bohong vin. Aku sakit.. Kanker darah stadium 4. Dan dokter bilang hidup aku gak lama lagi. Aku gak mau vin, aku masih pengen seneng-seneng sama kamu, aku masih pengen ketawa-ketawa bareng kamu, aku masih pengen nunggu Kak Gias, aku gak mau kalau aku sampe harus pergi ninggalin semuanya. Aku masih pengen hidup vin..”
“Engga Lira! Kamu pasti bisa sembuh kok! Kamu pasti bisa sehat lagi. Pasti bisa main-main lagi sama aku, seneng-seneng, ketawa-ketawa lagi sama aku. Percaya Lira, kamu pasti sembuh kok.”
“Vin, tolong jangan kasih tau masalah ini ke siapapun ya. Ke mama aku, termasuk juga Kak Gias. Tolong janji kamu gak akan bilang siapa-siapa.”
“Iya Lira, aku janji aku gak akan bilang ke siapun kok. Kamu jangan sedih terus ya, kamu pasti bisa sembuh kok.”
Mereka terus berbicara dalam telepon.
            Keesokan harinya muka Lira sangat pucat tapi ia memaksakan untuk pergi ke sekolah. Ketika pelajaran, kepala Lira pusing namun ia mencoba menguatkan dirinya hingga akhirnya bel pulang berbunyi. Lira langsung pergi menuju kelas temannya untuk menitipkan kado untuk diberikan kepada Gias. Dalam kado tersebut terdapat nama pengirim, namun hanya berinisial “L” saja. Lira meminta untuk tidak memberitahu Gias siapa yang telah memberi kado tersebut. Kado itu pun sudah diterima Gias. Ia penasaran siapa yang memberi kado tersebut. Ia mencari dan terus mencari tahu. Namun semua usahanya nihil.
            Empat hari kemudian. Hari itu hari selasa. Lira begitu pulas tidur sampai ia pun bangunnya kesiangan dan ia langsung cepat-cepat bersiap pergi ke sekolah. Sesampainya disekolah ia berlari sekencang mungkin dan tiba-tiba, Bruuuuk!! Dia bertabrakan dengan siswa lelaki yang juga sama terlambat. Lira kaget bukan main, siswa lelaki itu ternyata Gias. Dalam hatinya berucap.
“Ka Giaaaas? Astaga malu banget! Udah penampilan berantakan gini, terlambat, nabrak dia pula.”
Gias melihat Lira dan langsun meminta maaf.
“Aduh maaf ya gak sengaja.”
Lira mengangguk dan mereka langsung secepatnya lari kedalam sekolah. Lira senang sekali karena bisa bertatap muka dengan Gias walaupun hanya sebentar. Kejadian tadi pagi langsung ia ceritakan kepada Vina. Dua hari kemudian. Saat itu Lira sedang belajar. Ia meminta ijin pergi ke toilet kepada gurunya. Ketika ia sedang berjalan menuju toilet, ia merasakan pusing, dan ia langsung duduk ditempat duduk yang ada.  Tak lama kemudian hidungnya mengalirkan darah.
“Ya Tuhan ada apa ini? Kenapa hidungku mimisan lagi?”
Perasaan Lira tidak enak. Kepalanya mulai pusing kembali. Ia mencoba menguatkan dirinya. Ia hapus darah yang mengalir dari hidungnya dengan tisu. Tak lama kemudian tiba-tiba Lira jatuh pingsan. Delapan menit pun berlalu sedangkan tubuh Lira masih tergeletak dan disana tidak ada orang sama sekali. Beberapa saat kemudian datang seorang lelaki. Ternyata lelaki itu adalah Gias. Ia melihat ada seseorang sudah jatuh tergeletak dilantai. Ia berlari mendekatinya dan saat ia melihat orang yang pingsan itu..
“Ya Tuhan, ini kan wanita yang waktu itu bertabrakan denganku. Qalira Lenasha? Jadi nama wanita ini Qalira.”
Dengan cepat ia menggendong Lira menuju ruang kesehatan. Ketika ia menggendong Lira, tiba-tiba jantungnya berdetak kencang. Ia tidak mengerti dan ia tak memperdulikannya. Ketika telah dibawa ke ruang kesehatan, ia lekas meninggalkan tempat tersebut karena sudah ada yang menanangani dan Gias pun langsung pergi ke kelasnya kembali. Pikirannya buyar memikirkan keadaan Lira. Saat bel pulang, Gias berjalan cepat untuk pergi keruang kesehatan untuk melihat keadaan Lira. Namun ternyata Lira tidak ada disitu. Gias tak tau Lira ada dimana dan langsung pergi dari tempat itu. Ternyata Lira telah dibawa ke rumah sakit karena tidak sadarkan diri lama sekali. Perasaannya berkecambuk tak enak. Esok harinya ketika disekolah Gias langsung pergi ke ruang kesehatan untuk menanyakan Lira kelas apa. Salah satu penjaga ruang kesehatan itu pun memberitahu dan saat istirahat Gias langsung pergi ke kelas Lira. Saat ia sampai dikelas Lira, ia mencari-cari Lira namun ternyata tidak ada. Vina mendekati Gias sambil bertanya
“Maaf kak cari siapa ya?”
“Qalira nya ada?”
“Lira gak masuk sekolah.” Vina menunduk
“Dia masih sakit? Memangnya dia sakit apa?”
“Saya gak tau kak dia sakit apa.”
“Yaudah deh, kalau boleh tau rumahnya dimana ya?”
“Dia gak ada dirumah. Dia dirawat dirumah sakit kak.” Ucap Vina sambil matanya berkaca-kaca sedih.
“Rumah sakit? Rumah sakit mana?” Tanyanya dengan perasaan kaget.
“Saya juga gak tau kak dirumah sakit mana.”
Tiba-tiba bel masuk pun berbunyi.
“Yaudah kalau gitu makasih ya informasinya. Nanti kalau udah ada kabar Lira dirawat dimana, kasih tau kakak ya?”
“Iya kak.”
            Satu hari, dua hari, tiga hari berlalu namun Lira belum kembali lagi masuk sekolah. Gias yang setiap hari mencari-cari Lira semakin penasaran mengapa Lira tidak masuk sudah berhari-hari. Ia pun bertanya kepada Vina dan ia memohon-mohon kepada Vina untuk memberitahu tentang Lira.
“Vina tolong kasih tau kakak sebenernya Lira itu sakit apa? Kakak khawatir sama keadaanya. Tiga hari terakhir ini kakak sering kepikiran Lira dan perasaan kakak juga gak enak.” Gias memohon kepada Vina.
“Kakak kenapa? Keliatannya kakak peduli sama dia.”
“Kakak Cuma khawatir. Soalnya kakak sendiri yang waktu itu bawa Lira ke ruang kesehatan waktu Lira pingsan dan mimisan. Kakak khawatir sama keadaannya.”
“Coba aja kalau ada Lira disini, pasti dia seneng denger kakak ngomong gitu.”
“Maksud kamu?” tanya Gias keheranan.
“Kak sebenernya..”
“Sebenernya apa Vin?”
“Sebenernya Lira suka sama kakak. Dia suka sama kakak dari setengah taun yang lalu dan sampe sekarang masih suka dan masih nunggu kakak.”
“Lira suka sama kakak? Darimana dia tau kakak?”
“Dari Fahri. Temen kita sekaligus tetangga kakak itu.”
“Kamu gak lagi bohong kan?”
“Engga kak. Dia sering cerita sama Vina. Dia sering bikin gambar-gambar harapannya dia sama kakak. Dia suka sama kakak. Oh iya kak, kakak pernah dapet kado kotak musik sama miniatur tentara?”
“Iya, memangnya ada apa sama kado itu?”
“Kakak liat kan disitu ada nama pengirim inisial L ? L itu Lira. Lira yang ngasih kado itu. Dia titipin sama Fahri untuk kasihin kado itu ke kakak.”
“Vin tolong jangan bohongin kakak. Kakak paling gak suka kalo dibohongin.”
“Ya ampun kak, aku gak bohong. Lira emang suka sama kakak. Dia sering nulis nama kakak dikertas. Kalau gak percaya nih ada buku aku bekas tulisannya tentang kakak.”
Vina menunjukkan tulisan itu yang berisi:
            “Mencintaimu hingga bumi berhenti berputar. Mungkin orang akan lelah, tapi aku
tidak. Ya, mencintaimu sampai mati #GiasAryaAriansyah..”
“Terus juga ada yang mau aku bilang ke kakak..”
“Apa vin? Kasih tau kakak.”
“Sebenernya selama ini Vina tau Lira sakit apa dan dirawat dimana. Tapi Lira minta Vina untuk gak ngasih tau tentang ini kesiapapun termasuk kakak.”
Perasaan Gias mulai tak tenang. Matanya mulai berkaca-kaca.
“Kak, Lira sakit..” belum selesai menceritakan apa penyakit Lira, Vina tiba-tiba menangis.
“Vina, tolong kasih tau yang jelas.”
“Lira koma kak, Lira sakit.. Lira sakit kanker. Dokter bilang kanker darah stadium 4. Dan umurnya udah gak lama lagi.”
“Vinaaa, kenapa kamu gak bilang sama kakak dari waktu itu? Kenapa baru sekarang kamu kasih tau kakak tentang penyakit Lira? Apalagi tadi kamu bilang umur Lira udah gak lama lagi. Otomatis waktu kakak gak banyak untuk Lira!” Ucap Gias sambil air matanya mengalir.
“Maaf kak.. Vina Cuma ngelakuin apa yang Lira mau.”
“Kamu gak tau kan kenapa kakak khawatir, kenapa kakak cemas sama keadaannya Lira? Kakak suka sama Lira. Waktu Lira pingsan, kakak bawa dia. Kakak ngerasain dada kakak sakit. Jantung kakak berdetak cepat. Kakak deg-degan waktu deket Lira. Kakak selalu mikirin Lira, kakak khawatir sama Lira. Dan kakak sadar ternyata kakak suka, kakak cinta sama Lira.” Air mata Gias terus mengalir dengan rasa tak percaya ternyata orang yang ia suka sedang koma.
“Yaudah sekarang kita ke rumah sakit aja kak. Kita gunain waktu sebaik mungkin.”
Mereka berdua langsung pergi ke rumah sakit untuk menengok Lira. Ketika mereka sampai disana, mereka bertemu dengan mamanya Lira. Mamanya menceritakan semua tentang Lira kepada Gias. Mulai dari Lira sering cerita pada mamanya sampai cerita bahwa barang-barang dikamarnya pun banyak tentang Gias. Gias sangat tak percaya ternyata Lira menyukai dan mengagumi dirinya selama ini dengan begitu dalam. Esok harinya Gias pergi ke rumah sakit untuk bertemu dengan Lira. Ia membawa satu ikat bunga mawar merah, bunga kesukaan Lira dan kotak musik yang terdapat sepasang kekasih sedang menari. Ketika sampai disana Gias duduk disamping kasur Lira.
“Lira.. Ini kakak bawain bunga kesukaan kamu. Kamu suka kan? Kakak taruh disini ya.” Gias meletakan bunga tersebut tepat disamping Lira.
Tanga Gias memegang tangan Lira.
“Lira, Ini kak Gias. Kakak udah tau semuanya. Vina dan mama kamu udah cerita semuanya. Lira bangun Lira. Kamu harus liat bunga mawar ini. Kamu pasti suka. Oh iya, kakak juga bawain kotak musik. Kamu suka kan sama kotak musik?”
Gias membuka kotak musik itu dan musik berjalan dengan klasik dan sangat romantis.
“Kamu harus bangun dan harus liat ini. Kamu pasti suka Lira, kamu harus bangun.”
Namun tubuh Lira tetap terdiam membisu. Gias terus memandangi wajah Lira. Air mata pun tiba-tiba mengalir dari dari mata Gias. Tak lama kemudian tangan yang sedang digenggam Gias bergerak. Tiba-tiba tubuhnya kejang. Gias langsung menekan tombol untuk memanggil suster. Namun suster yang ditunggu tak kunjung datang. Ia berlari keluar untuk mencari bantuan suster dan dokter. Akhirnya Lira langsung ditangani oleh para medis. Keadaanya pun normal kembali.
            Esok harinya Gias kembali lagi ke rumah sakit itu untuk menemani Lira. Dan tak lupa ia selalu membawakan bunga mawar merah dan berharap Lira akan terbangun dari koma nya. Hari terus berganti namun Lira tetap seperti itu. Tubuhnya masih terdiam dan dia belum sadar dari komanya. Hingga suatu hari ketika disekolah, Vina mendapat telepon dari orang tuanya Lira. Orang tuanya memberitahu bahwa Lira sedang sekarat dan mereka ingin Vina dan Gias pergi ke rumah sakit sekarang. Vina pun menangis tak percaya. Dalam hatinya ia merasa sangat panik dan khawatir dengan keadaan Lira. Ia pun langsung meminta ijin kepada guru yang ada dikelasnya dan langsung berlari menuju kelasnya Gias. Sesampainya dikelas Gias.
“Permisi pak ijin mau ke kak Gias.” Ucapnya kepada guru dikelasnya Gias.
Gias pun keluar.
“Kak.. Ayo ka sekarang kita harus pergi ke rumah sakit.” Meminta sambil menangis.
“Memangnya ada apa Vin? Lira kenapa?”
“Lira sekarat! Ayo ka cepet mama Lira minta kita sekarang kesana.”
Dengan perasaan yang tak karuan Gias dan Vina langsung pergi ke rumah sakit tempat Lira dirawat.
            Sesampainya disana Gias berlari sekencang mungkin dengan mata yang bercucuran air mata. Dalam hatinya berkata
“Liraaa.. Tunggu kakak! Kamu harus kuat! Kamu harus sembuh!”
Sesampainya didepan ruang ICU.
“Giaaaas.. Vinaaa..” Mama Lira menghampiri mereka dan langsung memeluk mereka.
“Tante, gimana keadaan Lira? Lira sembuh kan tante? Lira udah sadar kan tante?”
Mama Lira terus menangis.
“Tante jawab Gias tante! Jawaaaaaaab..”
Namun mamanya Lira tetap menangis dan tak menjawab pertanyaan Gias. Gias pun berlutut didepan kaki mamanya Lira.
“Tante.. Gias mohon jawab pertanyaan Gias. Lira sembuh kan tante? Lira udah sadar kan?”
“Vina, Gias. Lira.. Lira udah pergi! Lira udah meninggal! Lira gak bisa ditolong.. Dia udah pergi ninggalin kita semua!” Ucap mama Lira dengan tangisan yang semakin Histeris.
“Tante pasti bohong kan?” Tanya Vina dengan rasa sangat tak percaya.
“Iya, tante pasti bohong kan? Gias yakin kok tante, Lira pasti sembuh. Lira anak yang kuat. Bilang ke Gias kalo tante bohong kan?” Tanya Gias dengan rasa yakin bahwa mama Lira sedang berbohong.
“Tante gak bohong Gias, Vina.. Lira udah pergi. Pergi buat selamanya..”
Seketika Gias langsung masuk kedalam ruangan ICU tersebut. Ketika dilihatnya tubuh Lira yang sudah terbujur kaku, hatinya hancur, remuk. Air matanya mengalir tak hentinya. Tubuhnya lemas tak percaya bahwa orang yang ia cintai selama ini telah pergi meninggalkannya dan takan pernah kembali sampai kapanpun. Gias mendekati Lira, diusapnya wajah Lira yang dingin tak bernyawa itu.
“Lira.. Kamu harus bangun dong. Kamu gak boleh kayak gini. Kamu gak boleh ninggalin kita semua. Kamu harus bangun dan kamu harus tau kalo kakak juga punya perasaan yang sama ke kamu selama ini. Kakak sayang sama kamu Lira. Kakak cinta sama kamu. Kamu harus bangun, kakak janji kita bakalan jalanin hari kita bareng-bareng. Kakak janji bakalan ajak kamu jalan-jalan. Kakak bakalan nyanyiin kamu lagu. Kakak bakalan bikin kamu seneng, kakak janji gakan bikin kamu kecewa. Kamu harus bangun Lira. Kita wujudin semua mimpi-mimpi kamu dan mimpi-mimpi kita ya? Setelah lulus nanti kakak bakalan kerja dan ngelamar kamu. Dan kita akan punya anak yang cantik seperti kamu. Ayo Lira banguuuun! Jangan diem terus kaya gini. Bangun Lira banguuuuuun!” Pintanya kepada Lira sambil memeluknya dan menangis begitu hebat.
“Udah Kak.. Udah ikhlasin aja. Lira gak akan bangun. Dia udah pergi. Biarin dia pergi dengan tenang kak.” Kata Vina menenangkan Gias.
“Tapi Vin kamu tau kan? Kakak cinta, kakak sayang sama dia. Tapi dia belum tau itu semua! Kakak pengen dia bangun dan kakak pengen mulai semua dari awal.”
“Vina tau kak, Vina tau. Tapi mau gimana lagi? Lira udah gak ada. Dia udah pergi dan dia gak akan mungkin balik lagi.”
“Ikhlasin Lira ya Gias. Tante juga sudah ikhlas. Mungkin ini emang yang terbaik untuk Lira. Kalau Lira masih ada, mungkin sekarang dia masih kesakitan melawan penyakitnya. Ikhlasin ya nak.”
“Tante..” Gias menatap Mamanya Lira dan langsung memeluk mama Lira dengan rasa belum bisa menerima kenyataan.
            Tubuh Lira yang sudah terbujur kaku tak bernyawa itu langsung dibawa kerumahnya. Mamanya menunjukkan kamar Lira dan Gias masuk ke kamar yang sudah tak berpenghuni itu. Disana ia melihat banyak terdapat foto-foto Gias. Disana juga ada gambaran tangan Lira yang menggambarkan Gias memakai pakaian tentara yang bersampingan dengan Lira yang sedang menggendong seorang bayi. Digambar itu Lira menuliskan Ini keluarga kecilku dimasa yang akan datang:-). Lira menggambar Gias memakai pakaian tentara karena selama ini ia tahu bahwa cita-cita Gias adalah menjadi seorang tentara. Gias juga melihat disana ada buku harian Lira dan ia pun membuka buku itu lembar demi lembar. Air matanya turun tak henti-hentinya. Dibuku itu bertuliskan:
Gias Arya Ardiansyah..
Satu nama yang selalu aku selipkan dalam setiap doaku..
Satu nama yang selalu aku ingat dalam benakku..
Satu nama yang menjadi alasan mengapa aku masih tetap bertahan untuk menunggu dan
mencintainya..
Walau aku tau satu nama itu tak akan pernah datang dan sampai kapanpun tak akan
pernah datang, tapi aku akan tetap menunggu dan mencintainya kini, esok dan
seterusnya..
Kemudian ada petikan lagu..
Embun dipagi buta menebarkan bau basah..
Detik demi detik ku hitung inikah saat ku pergi?
Oh Tuhan ku cinta dia berikanlah aku hidup..
Takan ku sakiti dia, hukum aku bila terjadi..
Aku tak mudah untuk mencintai..
Aku tak mudah mengaku ku cinta..
Aku tak mudah mengatakan aku jatuh cinta..
Senandungku hanya untuk cinta..
Tirakatku hanya untuk engkau..
Tiada dusta sumpah ku cinta sampai ku menutup mata..
Cintaku sampai ku menutup mata..
Hati Gias sangat berkecambuk. Hatinya sakit, sekaligus sedih membaca tulisan Lira seperti itu. Kini buku itu hanya menjadi fakta bisu yang memperlihatkan bagaimana perasaan Lira kepada Gias. Keluarga, tetangga dan teman-teman Lira pun berdatangan untuk berbela sungkawa. Teman-teman Gias yang tahu perasaan Gias kepada Lira datang dan menguatkan Gias. Setiap orang yang menguatkan Gias seperti semakin menghantam perasaannya. Ia semakin menangis tak kuasa menahan kesedihan. Tiba saatnya tubuh Lira untuk dikebumikan. Perlahan-lahan tubuh itu dimasukkan kedalam lubang. Mama Lira tiba-tiba menangis histeris kembali.
“Liraaaaaaa! Lira jangan pergi sayang.. Jangan tinggalin mama! Mama udah gak punya siapa-siapa lagi nak. Mam mohon jangan tinggalin ma..”
Belum selesai berbicara mamanya langsung jatuh pingsan. Hati Gias semakin sakit saat melihat tubuh Lira dimasukkan dan saat melihat berontakan mamanya Lira. Dalam hatinya berkata
“Kenapa kamu pergi secepat ini ra? Kenapa kamu tinggalin kaka disaat kaka ingin kamu tau bagaimana perasaan kakak? Coba kamu bisa liat semua yang ada disini. Semuanya gak mau kamu pergi. Mama kamu pingsan karena gak mau kamu tinggalin. Begitu juga kakak, kakak gamau kamu tinggalin. Kakak gamau kamu pergi Lira.. Kakak gak sanggup, kakak gak bisa..”
            Selesai pemakaman Lira, orang-orang menaburi bunga diatas tempat peristirahatan Lira yang terakhir itu. Gias ikut menaburi sambil air matanya terus mengalir. Ia berkata dalam hati,
“Semoga kamu bisa tenang disana ya.. Disini kakak akan selalu doain kamu. Dan ini bunga mawar.. Ya, bunga yang amat sangat kamu sukai sekarang menjadi saksi bisu kepergian kamu. Mawar yang kamu sukai sekarang menjadi taburan diatas makam kamu. Ya mawar yang sangat merah. Mawar yang sangat cantik. Mawar yang sangat indah namun tak bertangkai.. Selamat jalan Lira. Kakak sayang kamu..”

-Selesai-