Kamis, 21 Maret 2013

Tujuh Buah Kata

Tujuh Buah Kata
Aku tahu aku berbeda dari anak-anak lain. Dan aku amat membencinya. Ketika aku mulai bersekolah, teman-teman selalu mengejekku, maka aku semakin tahu perbedaan diriku. Aku dilahirkan dengan cacat. Langit-langit mulutku terbelah. Ya, aku adalah seorang gadis kecil dengan bibir sumbing, hidung bengkok, gigi yang tak rata. Bila berbicara, suaraku sumbang, sengau dan kacau. Bahkan aku tak bisa meniup balon bila tak kupejek hidungku ert-erat.
Jika aku minum dengan sedotan, air akan mengucur begitu saja lewat hidungku.
Bila ada teman sekolahku bertanya, “Bibirmu kenapa?” Aku katakan bahwa ketika aku bayi, aku terjatuh dan sebilah pecahan beling telah membelah bibirku.
Sepertinya aku lebih uka alasan ini daripada mengatakan bahwa aku cacat semenjak lahir. Saat berusia tujuh tahun, aku yakin tidak ada orang selain keluargaku yang mencintai aku. Bahkan tidak ada yg mau menyukaiku.
Saat itu aku naik ke kelas dua dan bertemu dengan Bu Leonard. Aku tak tahu apa nama lengkapnya. Aku hanya memanggilnya Bu Leonard. Beliau berparas bundar, cantik, dan selalu harum. Tangannya gemuk. Rambutnya colat keperakan. Matanya hitam lembut yang senantiasa tampak senyum meski bibirnya tidak. Setiap anak menyukainya. Tetapi tak ada yang menyintainya lebih daripada aku. Dan aku punya alasan tersendiri untuk itu.
Pada suatu hari ketika sekolah melakuan test kemampuan pendengaran, yaitu mendengar kata yng dibisikkan dengan satu telinga ditutup bergantian. Terus terang sulit bagiku untuk mendengr suara-suara dengan satu telinga. Tidak ada orang yang tahu akan cacatku yang satu ini. Aku tak mau gagal pada test ini lalu menjadi satu-satunya anak dengan segala cacat disekujur tubuhnya.
Maka aku mencari akal untuk menyusun rencana curang.
Aku perhatikan setiap murid yang ditest. Test berlangsung demikian. Setiap murid diminta berjalan kepintu kelas, membalikan tubuh, menutup stu telinga dengan jari, kemudian bu guru akan membisikkan sesuatu dari meja tulisnya. Lalu murid diminta untuk mengulangi perkataan bu guru. Hal yang sama dilakukan pada telinga yang satunya. Aku tak menyadarai ternyata tak ada


seorang pun yang mengwasi apakah telinga itu ditutup dengan rapat atau tdak.
Kalau begitu aku akan berpura-pura saja menutup telingaku. Selain itu, aku tahu dari cerita murid-murid yang laim bu guru biasanya membisikkan kata-kata seperti, “Langit itu biru” atau “Apakah kau punya sepatu baru?”
Kini tiba pada giliran terakhir, gilirnku. Aku berjalan ke luar kelas, membalikkan tubuh lalu menutup telingaku yang cacat itu dengan kuat tetapi kemudian perlahan-lahan merenggankannya sehingga aku busa mendengar kata-kata yang dibisikkan oleh bu guru. Aku menunuggu dengan berdebar-debar kata-kata apa yang akan dibisikkan oleh Bu Leonard. Dan Bu Leonard, bu guru yang cantik dan harum, bu guru yang au cintaiitu, membisikkan tujuh buah kata yang telah mengubah hidupku selamanya. Ia berbisik dengan lembut, “Maukah kau jadi putriku, wahai gadis manis?” tanpa sadar aku berbalik, berlari, memeluk bu leonard erat-erat, dan membiarkan seluruh air mataku tumpah di tubuhnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar